Kamis, 06 Februari 2014

Tentang Ujian Komprehensif

Kamis, 23 Januari 2014
Sedari pagi saya digelayuti perasaan gundah yang berlebihan. Pasalnya, siangnya saya harus kembali duduk di kursi panas ujian komprehensif. Bergantian berhadapan dengan 3 orang dosen untuk menjawab pertanyaan lisan. Ujian lisan, terlalu menyebalkan bahkan untuk sekedar dipikirkan. Berbeda dengan ujian tulisan biasa, yang di saat terdesak tentu saja bisa mengandalkan teman maupun contekan. Di ujian lisan, yang bisa diandalkan hanya diri sendiri dan sedikit keberuntungan.

Saya lesu sedari pagi, tidak sarapan, memakai pakaian putih-hitam sesuai peraturan dengan asal-asalan. Dan sampai di kampus masih tanpa pedoman. Ini ujian komprehensif kedua saya, yang pertama bisa dibilang gagal dengan memalukan, saya nyaris tak bisa menjawab satupun pertanyaan dari dosen penguji. Di kesempatan kali ini saya mempersiapkan diri lebih dari sebelumya, gagal di percobaan pertama tentu tak boleh terulang.

Hampir sebulan jelang waktu ujian saya habiskan untuk membaca buku maupun catatan sebagai referensi. Teori Akuntansi, Sistem Pengendalian Manajemen dan Pengauditan, 3 mata kuliah yang ditanyakan di ujian komprehensif. Beruntung saat itu saya punya Tira, dia membantu saya, menyiapkan buku, catatan, ringkasan hingga contoh pertanyaan yang memiliki kemungkinan besar untuk ditanyakan. Sesekali dia membantu mengajarkan dan sesering kali dia memberikan semangat dan motivasi, sesuatu yang paling saya butuhkan.

Dibanding sebelumnya, saya merasa lebih yakin, lebih siap dan lebih punya harapan untuk lulus. "Usaha keras tak akan mengkhianati bukan?" itu prinsip saya. Perjuangan selama hampir sebulan akan segera ditentukan. Meskipun pada akhirnya, di hari yang dinantikan tiba, perasaan ragu mulai mengganggu saya. Kegagalan di kesempatan pertama kembali terbayang. Apakah akan kembali terulang? Ataukah saya bisa mengakhirinya dengan senyuman?

-----------------------------------------------------------------------
Saya dan 5 teman setim telah menunggu kedatangan dosen penguji. Ini hari penentuan. 

Pertama, pengauditan, begitu nama saya dipanggil, saya berdiri dari tempat duduk dan masuk ke ruang ujian, masih diselimuti sedikit keraguan, keraguan yang telah kalah dengan rasa optimistis yang tidak berlebihan. Begitu masuk dan disuruh duduk di kursi panas oleh dosen penguji, saya berdoa, doa yang diajarkan nenek saya untuk keadaan genting seperti ini, katanya dengan doa ini orang yang berhadapan dengan kita akan menjadi lebih baik dan menilai kita lebih positif. Doa selesai. 

Dosen penguji memulai dengan basa-basi, menanyakan asal dan lain sebagainya. Saya menjadi lebih tenang dengan keramahannya. Begitu pertanyaan sebenarnya ditanyakan, saya bisa menjawab dengan cukup meyakinkan. Perasaan lega, nyaris tak ada pertanyaan yang saya lewatkan tanpa jawaban. Ujian pertama selesai, saya riang dengan kejadian barusan. Optimisme meninggi. keraguan lenyap dengan sendirinya.

Ujian kedua, Sistem Pengendalian Manajemen. Dibanding 2 mata kuliah lain, saya mempersiapkan ini lebih baik. Dosen pengujinya adalah dosen yang terkenal di seantero kampus suka menanyakan pertanyaan yang sukar dijawab. Saya masuk ke ruangan dengan keyakinan penuh. Keyakinan yang akhirnya tak bertahan lebih dari dua menit begitu saya berada di ruangan. Bagaimana tidak, bahkan sebelum memberikan pertanyaan, bu dosen telah mencecar perihal perilaku saya saat di perkuliahan yang dia ampu. Perihal saya yang terlalu diam padahal dia berharap setiap mahasiswa mesti aktif di kelas. "Diam saya pasir, bukan emas, dan tanpa arti", begitu katanya. Selain itu dia juga mempermaslahkan saya yang selalu duduk di belakang dan terlalu sibuk dengan dunia saya sendiri. Tidak memperhatikannya sama saja dengan tidak menghargainya, begitu dia menganggap saya. Sederet "ceramah" lain mengikutinya. Seketika itu, lidah saya kelu, badan lesu, rasa optimistis tadi lenyap entah kemana.

Rangakaian "nasihat" berlalu. Dan beliau memulai dengan sebuah pertanyaan, pertanyaan yang tak bisa saya pikirkan jawabannya karena pikiran telah terlanjur ricuh medengarkan deretan "nasihat"" yang tak saya perkirakan. Setiap saya tak bisa memberikan jawaban yang beliau inginkan, seketika nasihat-nasihat berguguran dari bibir beliau, seketika itu pula serasa setiap bagian dari diri saya rusak berserakan.
Saya ingin keluar dari ruangan ini apapun hasilnya!

Akhirnya apa yang harapkan terjadi, ujian selesai, saya keluar dengan wajah lesu, dengan kaki yang diseret lemas. Bena semua nasihat beliau benar, tapi tak saya harapkan untuk mendengarkannya di tempat ini, di saat seperti ini. Tak ada lagi yang saya ingin pikirkan, tidak ujian yang telah berlalu, tidak pula satu ujian yang tersisa. Saya pasrah, tidak ada lagi optimisme seperti sebelumnya. Pasrah, hanya pasrah.

Ketiga, ujian terakhir, Teori Akuntansi. Saya masuk ruangan dengan tanpa harapan. Sekedar formalitas, sekedar menyelesaikan kewajiban. Beruntung di penguji terakhir, tidak ada pertanyaan yang terlalu menyusahkan. Bisa dibilang saya bisa menjawab, walaupun mungkin tidak terlalu meyakinkan. Ujian selesai. Kembali, saya pasrah, hanya pasrah..

Ujian selesai, sekarang saatnya menunggu dosen mendiskusikan kelulusan atau ketidaklulusan. Saya dan 5 teman setim menunggu di luar, menunggu untuk dipanggil dan duduk di kursi pesakitan untuk mendengarkan hasil yang didapatkan.

Peserta pertama dipanggil.. masuk ke ruangan dengan tidak meyakinkan, dan keluar dengan lebih tidak meyakinkan lagi. Dia gagal. Tidak lulus.
Peserta kedua. Sama saja. Tidak lulus.
saya semakin pasrah menunggu giliran.
Peserta ketiga, keluar dengan air mata membasahai pipi. Air mata bahagia, dia lulus!

Giliran saya dipanggil, langkah gontai masuk ruangan, duduk di kursi pesakitan, dan tak berani menoleh ke dosen yang tadi memberikan saya banyak nasihat. 
Ketua tim penguji menanyakan keyakinan saya akan kelulusan. "Di bawah 50 persen, pak", jawab saya lesu. "Berarti kamu beruntung, kamu lulus", jawabnya. Saya tak percaya, beliau memberikan kartu ujian dan berita acara ujian yang telah dicoret tulisan "Tidak lulus"-nya, yang membuat saya langsung percaya dan kemudian mengucapkan terima kasih. Saya menoleh ke "dosen pemberi nasihat" tadi, kemudian mengucapkan terimakasih. Beliau membalas dengan jawaban "saya tidak seburuk yang kamu pikirkan kok" yang membuat saya heran, malu, dan entah mengapa merasa bersalah karena dari tadi memang berpikir tidak baik kepadanya.

Saya keluar dengan perasaan haru. Berulang mengucap syukur, dan berulang mendapat selamat dari teman yang di luar. membahagiakan!

Begitu semua posesi selesai dan saya hendak pulang, tanpa sengaja saya berpapasan dengan "dosen pemberi nasihat", dia berucap "Ternyata kamu lulus juga ya. Maaf tadi saya kerjain", yang membuat saya bengong dan tanpa kata-kata. Hampir setengah jam dan dicecar begitu banyak nasihat dan jantung saya nyaris copot, beliau hanya bilang ngerjain dengan sedikit senyum?

Ah sudahlah, biarkan saja apa yang telah terjadi. Tapi benar kan, "Usaha keras tak kan pernah mangkhianati"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar